BAB
I
Pendahuluan
1.1.LATAR
BELAKANG
Merencanakan dan mengatur keluarga adalah soal
kemanusiaan yang sekarang ini sedang diusahakan pelaksanaannya oleh pemerintah
dan rakyat Indonesia. Kalau pembangunan itu adalah pembangunan manusia, maka
kelahiran manusia itupun harus diatur. Pengaturan itu harus diadakan, agar
supaya kenaikan produksi tidak dikalahkan oleh kenaikan kelahiran anak. Hal
yang ditakutkan itupun terjadi pada masa sekarang ini, dimana kelahiran anak
mengalahkan kenaikan produksi terutama produksi pangan. Di samping itu
pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan pertumbuhan yang cukup dalam
produksi nasional dapat juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitaan
dengan kurangnya fasilitas pendidikan, kurangnya penyediaan makanan, pelayanan
kesehatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya. Usaha perencanaan keluarga
harus dilakukan sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan hukum yang
berjalan dinegeri ini, juga tidak bertentangan dengan ajaran agama yang
merupakan sumber rasa susila dan rasa perikemanusiaan. Ini semua harus diatur
oleh pemerintah dan harus didukung pula oleh segenap rakyat. Suksesnya suatu
program dalam hal ini program keluarga berencana, tergantung dari aktif atau
tidak aktifnya partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut.
Sehingga dalam posisi ini peran aktif masyarakat sangat penting artinya bagi
kelancaran dan keberhasilan program tersebut dan tercapainya tujuan secara
mantap. Program Keluarga Berencana dicanangkan dalam rangka usaha pemerintah untuk
membangun manusia Indonesia yang berkualitas. Pada dasarnya
pemerintah
berkeinginan untuk membuat perubahan dari suatu kondisi tertentu ke keadaan
lain yang lebih bernilai. Agar proses perubahan itu dapat menjangkau sasaran-sasaran
perubahan keadaan yang lebih baik dan dapat digunakan sebagai pengendali masa
depan, di dalam melaksanakan pembangunan itu perlu sekali memperhatikan segi
manusianya. Karena dalam arti proses, pembangunan itu menyangkut makna bahwa
manusia itu obyek pembangunan dan sekaligus subyek pembangunan. Sebagai subyek
pembangunan manusia harus diperhitungkan, sebab dia punya nilai dan potensi
yang luar biasa. Oleh karena itu, di dalam pembangunan perlu sekali mengajak
subyek tadi untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan secara
berkelanjutan (Pasaribu dan Simanjntak, 1986: 62).
Kaitannya dengan peran serta masyarakat dalam
program tertentu, peranan tokoh masyarakat baik formal maupun non-formal sangat
penting terutama dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakkan
keterlibatan seluruh warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung
keberhasilan program. Apalagi dimasyarakat pedesaan, peran tersebut menjadi
faktor determinan karena kedudukan para tokoh masyarakat masih sangat kuat
pengaruhnya, bahkan sering menjadi tokoh panutan dalam segala kegiatan hidup
sehari-hari warga masyarakat. Persepsi warga masyarakat terhadap program
tertentu merupakan landasan atau dasar utama bagi timbulnya kesediaan untuk
ikut terlibat dan berperan aktif dalam setiap kegiatan program tersebut. Makna
positif atau negatif sebagai hasil persepsi seseorang terhadap program akan
menjadi pendorong atau penghambat baginya untuk berperan dalam kegiatannya.
Berbagai hal yang terjadi dan menjadi pengalaman
yang kurang menyenangkan sering mengakibatkan warga masyarakat kurang mampu
bersikap terbuka untuk secara jujur menyatakan persepsi dan pandangannya
tentang suatu program yang diselenggarakan pemerintah. Karena sering dilandasi
oleh persepsi yang kurang positif maka keterlibatan yang ada sering merupakan
partisipasi semu. Keadaan yang demikian itu bila sering terjadi maka akan
berakibat kurang lancarnya kegiatan sesuaii dengan rencana sehingga menyulitkan
usaha pencapaian tujuan program secara utuh dan mantap (Sutopo, 1996: 132).
Hambatan yang sering muncul ketika psrtisipasi masyarakat terhadap suatu
program pemerintah kurang maksimal bisa secara internal, berupa hambatan
sosio-kultural, dan eksternal, hambatan dari birokrasi pemerintah (Miftah
Thoha,tth: 11-17)
Hambatan
internal, merupakan hambatan dari dalam masyarakat itu sendiri, yang merupakan
keengganan sebagian besar warga masyarakatuntuk terlibat langsung dalam suatu
program kegiatan. Hal ini disebabkan karena keadaan sosiokultural, sosial-ekonoomi,
rendahnyapendidikan, dan kurangnya sarana dan prasarana mereka yang belum
memungkinkan untuk secara aktif menyuarakan keinginan mereka. Sedangkan
hambatan yang sifatnya eksternal adalah karenaselama ini setiap ada program
pemerintah biasanya sistemnya sendiri yang lebih menekankan perencanaan dari
atas (top-down) atau strategi center-down, yang kurang memperhatikan masyarakay
arus bawah. Akibatnya, yang dilakukan itu kadang-kadang menjadi tidak realistis
dan mengalami stagnasi. Akibatnya juga
banyak
program menghadapi kendala dalam pelaksanaannya seperti kendala yang telah
diuraikan di atas. Sehingga partisipasi warga masyarakat sangat kurang. Proses
dan persepsi seseorang tidak mudah diungkap secara lengkap dan rinsi,
lebih-lebih apabila orang tersebut tidak bersikap terbuka. Banyak hal yang merupakan
pengalaman seseorang dapat mempengaruhi makna hasil persepsi terhadap kegiatan
hubungan antar manusia dalam masyarakat. Selain tergantung dari bentuk dan
proses interaksinya, persepsi seseorang sangat tergantung pada banyak faktor
yang membentuk pengalamannya dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam
kaitannya dengan program Keluarga Berencana sebagai usaha pemerintah mewujudkan
masyarakat adil dan makmur, materiil, dan spirituil sesuai dengan
tujuan
pokok yang dirumuskan dalam pembahasan dan batang tubuh UUD 45, makapartisipasi
aktif warga masyarakat juga akan sangat ditentukan oleh persepsinya
terhadap
program Keluarga Berencana yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial
ekonomi dan budayanya yang khusus. Penelitian ini akan mengambil Desa
Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai wilayah kajiannya. Sebagai satu wilayah yang dapat dikatakan daerah
perbatasan / daerah sub-urban antara desa dengan kota, karena wilayah tersebut
terletak di Kabupaten Bantul paling Utara
berbatasan
dengan wilayah kota paling selatan. Jumlah orang yang masuk/migrasi di wilayah
ini terlihat sangat tinggi sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk.
Dan hal tersebut tentunya akan berdampak begi sektor kehidupan lain.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Setelah melihat latar belakang yang
ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat
membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini.
Adapun Rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut: bagaimana persepsi dan partisipasi
masyarakat terhadap program Keluarga Berencana?
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengeksplorasi persepsi dan partisipasi
masyarakat terhadap program keluarga berencana di Kelurahan Dukuh Setro
Kecamatan Tambaksari Surabaya.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Dari tujuan diadakannya penelitian tadi, maka adapun
manfaat penelitaian yaitu penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang
urgen bagi :
1. Peneliti
a. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keluarga
berencana
b. Diharapkan dari penelitian ini, peneliti dapat
termotivasi untuk meningkatkan membangun persepsi positif bagi masyarakat.
2. Keilmuan
Diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran kususnya tentang
pengembangan konsep keluarga berencana dan dapat memberikan kontribusi keilmuan
bagi disiplin keilmuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Persepsi
2.1.1.
Definisi
Menurut Davidoff, persepsi merupakan cara kerja atau
proses yang rumit dan aktif, karena tergantung pada sistem sensorik dan otak
(Davidoof, 1988: 237).
Persepsi sosial sering
diartikan sebagai proses mempersepsi objek-objek dan peristiwa sosial individu
untuk mencoba memahami apa yang tampak dan tidak tampak pada alat inderanya.
Persepsi sosial melibatkan proses mempersepsi orang lain, penampilan fisik,
aspek-aspek psikologi serta perilakunya.
Persepsi yang
dihasilkan oleh individu sangat subjektif karena dipengaruhi oleh perasaan,
nilai-nilai dan kepercayaan yang dimiliki oleh individu. Sehingga tidak heran
jika ada suatu objek dipersepsikan berbeda oleh masing-masing orang yang
mengamatinya.
2.1.2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi
2.1.2.1.Faktor
Internal/Personal
Meliputi
motivasi, kebutuhan, emosi dan pengalaman masa lalu yang dimiliki individu.
Pengaruh faktor personal dalam persepsi sosial biasanya akan lebih menyulitkan
daripada membantu proses persepsi yang dilakukan oleh individu. Misal: faktor
kepribadian, orang yang mempunyai kepribadian positif cenderung menilai positif
orang lain.
2.1.2.2.
Faktor Eksternal/Situasional
Menurut Thompson&Debolt (1971) faktor ini
meliputi kejadian-kejadian eksternal serta nilai/norma yang ada di sekitar
individu (masyarakat).
Pengaruh faktor
situasional pada persepsi sosial dapat dilihat dari dua faktor yaitu, deskripsi
verbal dan pesan non-verbal.
1).
Deskripsi verbal yaitu, proses untuk menggambarkan objek dengan kata-kata akan
sangat mempengaruhi persepsi yang dihasilkan. Misal: Paijo adalah anak yang
rajin, ramah, cerdas dan kleptomania; atau Paijo adalah anak yang kleptomania,
rajin, ramah dan cerdas. Makna yang dihasilkan dari dua contoh akan berbeda
karena ada hukum yang dinamakan primacy effect, keadaan dimana kata yang
digunakan pertama kali untuk mendefinisikan objek akan menutupi sifat/makna
kata selanjutnya.
2).
Pesan non-verbal mempunyai fungsi untuk: repetisi, pengganti kata-kata,
kontradiksi, komplemen dan memperkaya pesan non verbal, aksentuasi, menentukan
makna komunikasi sosial, ekspresi cermat dari perasaan dan emosi serta sebagai
alat sugesti yang efektif.
Namun
komunikasi non-verbal biasanya dapat diketahui bila individu sudah mengenal
lama orang lain.
Jenis
Pesan Non-Verbal
a).Petunjuk
Proksemik
Penggunaan
jarak dan ruang. Jarak biasanya menunjukkan keakraban seseorang sedang ruang
berkaitan dengan penggunaan lingkungan fisik disekitar individu, misal: rumah
yang sering tertutup biasanya pemiliknya juga cenderung tertutup.
b).Petunjuk Facial
b).Petunjuk Facial
Berkaitan
dengan mimik wajah dan rona muka. Misal: mimik wajah ketika orang merasa
senang.
c).Petunjuk
Gestural
Penggunaan
sebagian anggota tubuh dalam komunikasi. Misal: tangan menengadah dimaknai
sebagai tanda meminta.
d).Petunjuk
Postural
Penggunaan
seluruh tubuh.
2.1.3.
Persepsi Pada Masyarakat
Bagi manusia, persepsi merupakan suatu kegiatan yang
pleksibel, yang dapat menyesuaikan diri
secara baik terhadap masukan yang berubah-ubah. Dalam kehidupan sehari-hari, tampak bahwa persepsi
manusia mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan
dan budayanya. Dalam konteks ini, pengalaman-pengalaman pada berbagai
kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi bagaimana informasi penglihatan itu
diproses. Pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif,
karena tangapan dan pikiran yang merupakan alat utama dalam proses kognitif
selalu bersumber darinya. Dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan
akumulasi dari hasil berinteraksi dengan lingkungan hidupnya setiap kali dalam
masyarakat, lokasi geografisnya, latarbelakang sosial-ekonomi-politiknya,
keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan
dan keadaan. Karena kebudayaan dinyatakan sebagai segala sesuatu yang
berhubungan erat
dengan
perilaku manusia dan kepercayaan, maka ia meliputi berbagai hal dalam kehidupan
manusia, yang diantaranya adalah agama, pendidikan, struktur sosial ekonomi,
pola kekeluargaan, kebiasaan mendidik anak, dan sebagainya. Dengan demkian
dapat dikatakan bahwa kondisi kehidupan seseorang sehari-harinya sangat mempengaruhi
persepsi pada setiap peristiwa sosial, dimana dalam setiap kegiatan sosial
tersebut selalu melibatkan hubungan antar-subjek dan terbentuknya makna. Makna
tersebut akan menentukan kesanggupan seseorang untuk terlibat dan berpartisipasi
pada kegiatan tertentu dalam masyarakatnya (Sutopo, 1996: 133). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, persepsi diintepretasikan sebagai tanggapan atau
penerimaan langsung dari sesuatu, atau proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui panca inderanya (Depdikbud, 1995:759). Persepsi selalu berkaitan dengan
pengalaman dan tujuan seseorang pada waktu terjadinya proses persepsi. Ia
merupakan tingkah laku selektif, bertujuan, dan merupakan proses
pencapaian
makna, dimana pengalaman merupakan faktor penting yang menentukan
hasil
persepsi (Sutopo, 1996:133). Tingkah laku selalu didasarkan pada makna sebagai
hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan, dan mengapa
seseorang melakukan berbagai hal, selalu didasarkan pada batasan-batasan menurut
pendapatnya sendiri, dan dipengaruhi oleh latar belakang budayanya yang khusus
(Spradly, 1980:137). Budaya yang berbeda , melatih orang secara berbeda pula
dalam menangkap makna suatu persepsi, karena kebudayaan merupakan cara khusus
yang membentuk pikiran dan pandangan manusia. Dari teori-teori di atas, dapat
dikemukakan bahwa persepsi merupakan proses aktif, dimana masing-masing
individu menganggap, mengorganisasi, dan juga
berupaya
untuk mengintepretasikan yang diamatinya secara selektif. Oleh karena itu,
persepsi
merupakan dinamika yang terjadi dalam diri seseorang pada saat ia menerima
stimulus dari lingkungan dengan melibatkan indra, emosional, serta aspek kepribadian
lainnya. Dalam proses persepsi itu, individu akan mengadakan penyeleksian,
apakah stimulus individu berguna atau tidak baginya, serta menentukan apa yang
terbaik untuk dikerjakannnya. Persepsi cenderung berkembang dan berubah, serta
mendorong orang yang
bersangkutan
untuk menentukan sikap, karena tidak hanya terdiri dari beingcognition yang
pasif dan reseptif, tetapi juga jalan yang penuh keyakinan. Sifat aktif menyebabkan seseorang mampu melihat realitas
yang terdalam dan tidak mudah terkelabuhi oleh penampakan realitas yang semu.
Persepsi yang tajam menyebabkan seseorang memahami realitas diri dan
lingkungannya dalam suatu interaksi interrasionalitas dengan totalitas dan
tidak mudah terjebak pada salah satu pandangan yang empirisme. Dalam kajian
ini, persepsi masyarakat terhadap program Keluarga Berencana, tidak hanya
dilihat sebagai proses penerimaan stimulus dari luar dirinya, tetapi juga sikap
batin yang mengarahkan seseorang mampu melihat hakekat yang terdalam dari urgensi
pelaksanaan program Keluarga Berencana yang diselenggarakan oleh pemerintah
yang lebih bermakna. Persepsi positif masyarakat terhadap program Keluarga
Berencana, akan sangat menentukan kesanggupan mereka untuk terlibat dan berpartisipasi
secara aktif dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana secara berkesinambungan.
Partisipasi itu sendiri, menurut Purwodarminto, adalah suatu kegiatan atau
turut berperan serta dalam suatu program kegiatan (Purwodarminto,
1984:
453). Partisipasi merupakan proses aktif yang mengkondisikan seseorang turut serta
dalam suatu kegiatan yang disebabkan oleh persepsi yang positif. Meskipun demikian,
partisipasi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis-ekonomispolitis seseorang
yang merupakan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat juga dapat berbeda-beda bentuknya. Tetapi dalam penelitian
ini akan digambarkan secara komprehensif tampilan persepsi dan partisipasi dari
masyarakat dalam studi kasus penelitian ini.
2.2.
Partisipasi
2.2.1.
Definisi Partisipasi
Menurut Bedjo (1996), yang dimaksudkan dengan partisipasi adalah: “Perilaku
yang memberikan pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang. Perilaku merupakan
aktivitas yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan
rangsangan yang dari luar lingkungannya
Pengertian lain tentang partisipasi juga dikemukakan oleh Slameto (1995)
yang mengatakan bahwa partisipasi adalah: “Pemusatan energi psikis yang tertuju
pada suatu obyek, dan juga meliputi banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai
sesuatu aktivitas yang sedang dilakukan”
Dengan demikian, dapat dirumuskan
bahwa partisipasi masyarakat dalam program keluarga berencana adalah perilaku masyarakat
yang dilaksanakan secara sadar untuk melakukan berbagai tindakan secara
maksimal untuk mendukung keberhasilan program keluarga berencana. Dalam hal ini adalah pencapaian program
keluarga berencana yang tinggi pada masyarakat sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan bersama.
2.2.2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi
partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat
mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat
menghambat keberhasilan program. Misalnya
saja faktor usia, terbatasnya harta benda,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967: 130)
mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh
banyak faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang memengaruhi sikap
seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral
kepada nilai dan norma masyarakat
yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka
yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis
kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan[ adalah “di
dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang
terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran
perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan
pendidikan perempuan yang semakin baik.
3.
Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap
dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap
yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
4. Pekerjaan
dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena
pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya.
Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat
mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung
oleh suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya
tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu
dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada
partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu,
maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
2.3.
Partisipasi Masyarakat Dalam Keluarga Berencana
Partisipasi masyarakat
dalam mendukung program KB masih terlihat rendah. Hal ini terutama tampak pada
partisipasi pria/suami. Hal ini salah
satunya disebabkan minimnya akses laki-laki terhadap perolehan informasi,
pelayanan KB, dan kesehatan reproduksi.
Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
(PSKK) UGM Issac Tri Oktaviatie, S.Ant, MSc, kurangnya promosi atau sosialiasi
tentang KB pria dikarenakan kebijakan KB di Indonesia yang masih berfokus pada
pencapaian target peserta KB perempuan. Perempuan masih tetap menjadi sasaran
utama sosialisasi program KB dengan harapan istri yang akan mengkomunikasikan
dan menegosiasikan pemakaian alat kontrasepsi (alkon) kepada suaminya.
“Hal
ini tentunya menjadi tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan
peran serta pria dan kesetaraan gender dalam konteks keluarga berencana karena
tidak secara serius menjadikan pria sebagai target sasaran program KB,”
jelasnya, Jum’at (24/2) dalam diskusi “KB Pria di Indonesia: Program Setengah
Hati” di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM
Aspek sosial budaya masyarakat Indonesia, lanjutnya,
juga menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran pria untuk berperan menyukseskan
program KB. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kabupaten Gunung Kidul,
diketahui bahwa masyarakat masih mempersepsikan KB merupakan tanggung jawab
perempuan. Selain itu, pemakaian alat kontrasepsi kondom mengurangi kenyamanan
saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan dibanding jenis-jenis alat
kontrasepsi perempuan yang ada. Sementara metode vasektomi masih dipersepsikan
sebagai bentuk pengkebirian dan akan mengurangi kekuatan pria. Pandangan yang
keliru tentang vasektomi ini telah melahirkan stigma terhadap akseptor yang
dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai pria takut isteri. Kekhawatiran juga
muncul dari perempuan yang beranggapan dengan vasektomi justuru akan
meningkatkan peluang suami untuk tidak setia pada pasangan karena tidak
meninggalkan jejak.
Disamping hal itu, kata Isssac, penting untuk segera
dilakukan advokasi anggaran daerah diupayakan lebih berpihak pada pemenuhan
kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan mencakup KB pria. “PLKB juga
diupayakan untuk lebih aktif dalam mempromosikan alat kontrasepsi pria, jangan
hanya melimpahkan tanggung jawab sosialisasinya pada kader KB di masyarakat
Keterlibatan
pria didefinisikan sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan KB,
pengetahuan pria tentang KB dan penggunaan kontrasepsi pria. Dari defenisi di
atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi pria tidak hanya dalam hal
pemakaian alat kontrasepsi saja, tapi juga dalam hal pengambilan keputusan
berKB oleh istri ataupun dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pria tentang KB
digunakan untuk membantu mensosialisasikan program-program KB.
Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap
KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah anak dalam
keluarga. Untuk merealisasikan tujuan terciptanya Keluarga Berkualitas 2015,
Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana adalah tanggung jawab pria
dalam kesertaan ber-KB, serta berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi
dirinya, pasangan atau keluarganya. Dalam hal ini dinyatakan bahwa keterlibatan
pria dalam program KB dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung.
Penggunaan metode kontrasepsi pria merupakan satu bentuk partisipasi pria
secara langsung, sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya
pria memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan yag lebih baik
berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya.
BAB
III
Metode
Penelitian
Penelitian
ini akan dilaksanakan di Desa Panggungharjo Sewon Bantul, dan difokuskan pada
persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap program Keluarga Berencana yang
merupakan program pemerintah untuk memberi pelayanan sosial terhadap masyarakat
secara menyeluruh. Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini,
yang lebih mengutamakan pada masalah proses dan makna/persepsi, maka jenis
penelitian dengan strateginya yang cocok dan relevan adalah penelitian
kualitatif deskriptif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap
berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh
makna, yang juga tidak menolak informasi kuantitatif dalam bentuk
angka
maupun jumlah. Pada tiap-tiap obyek akan dilihat kecenderungan, polapikir,
ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasinya sebagaimana dalam
studi kasus genetik (Muhadjir, 1996: 243).
Penelitian ini
menggunakan desain kualitatif dengan wawancara mendalam menggunakan pertanyaan
terbuka sebagai pedoman. Strategi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kasus (case study). Karena permasalahan dan
fokus penelitian sudah ditentukan dalam proposal sebelum terjun ke lapangan,
maka jenis strategi penelitian ini secara lebih spesifik dapat disebut sebagai
studi kasus terpancang (embedded case study research)(Yin, 1987:
136).
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berhadapan
dengan data yang bersifat khas, unik, idiocyncratic, dan multiinterpretable
(Waluyo, 2000: 20). Data yang paling penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam
penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif tidak bersifat nomotetik
(satu data satu makna) seperti dalam pendekatan kuantitatif atau positivisme.
Untuk itu, data-data kualitatif perlu ditafsirkan agar mendekati kebenaran yang
diharapkan (Waluyo, 2000: 20).
Adapun jenis sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi:
1.
Informan atau nara sumber yang terdiri dari para pelaksana program KB di Desa
Panggungharjo Sewon Bantul.
2.
Tempat dan aktivitas program KB yang diselenggarakan oleh BKKBN di Desa
Panggungharjo Sewon Bantul sebagaimana studi kasus dalam penelitianini. Dalam
hal ini dilakukan observasi mengenai kegiatan apa yang dilakukan masyarakat
dalam pelaksanaan program KB yang merupakan program pemerintah dalam rangka
memberikan pelayanan sosial pada masyarakat.
3.
Teks yang berupa arsip dan dokumen resmi mengenai program KB, jadwal kegiatan
program, foto-foto situs studi kasus, dan catatan-catatan lain yang relevan.
Dalam menafsirkan teks yang bermacam-ragam ini, diperlukan dekontekstualisasi
(proses pembebasan dari konteks). Teks bersifat otonom yang didasarkan atas tiga hal, yaitu: maksud
penulis; situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks; dan untuk siapa
teks itu ditulis. Seorang peneliti harus “membaca dari dalam” teks yang
ditafsirkannya itu. Tetapi
peneliti
tidak boleh luluh ke dalam teks tersebut dan cara pemahamannya tidak boleh
lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarah dari teks itu. Karena itu distansi
asing dan aspek-aspek subjektif-objektif dari teks-teks tersebut harus
disingkirkan (Waluyo, 2000: 26)
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: wawancara, observasi langsung, dan mencatat dokumen
(content analysis).Teknik cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah “Purposive Sampling” (Sutopo, 1996 : 138), atau lebih
tepat disebut sebagai cuplikan dengan criterion-based selection yang
tidak didapat ditemukan lebih dulu secara acak. (Moleong, 1999:165-166). Dalam
hal ini peneliti memilih informan yang dianggap “mengetahui permasalahan yang
dikaji” (dapat dipercayainformasinya).
Penelitian diawali dengan memilih informan, dalam
hal ini informan yang paling mengetahui fokus penelitian, kemudian dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan untuk memperoleh data (Patton, 1980:38). Teknik
cuplikan semacam ini lebih dikenal sebagai “Internal Sampling” (Moleong,
1999:90), maksudnya bahwa sampling tidak dimaksudkan untuk mewakili populasi
tetapi mewakili informasinya, sehingga bila diinginkan usaha untuk
generalisasi, kecenderungannya mengarah pada generalisasi teoritik (Sutopo,
1995:19).
Teknik
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interaktif (Miles
dan Huberman, 1984). Dalam model analisis ini, tiga komponen analisisnya yaitu
reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verivikasi,
aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data
sebagai suatu proses yang berlanjut, berulang, dan terus9 menerus hingga
membentuk sebuah siklus. Secara skematis proses analisis
interaktif
ini dapat digambarkan sebagai berikut.
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
Gambar
1. Model Analisis Interaktif Milles dan Hubberman
DAFTAR
PUSTAKA
Bedjo. 1996. Prhatian Orang Tua dari Keluarga dalam
Pendidikan anak-anaknya. Majalah
Ilmiah
Universitas Udayana. Bali: Universitas Udayana.
Slameto. 1995. Belajar dan
faktor-faktor yang mempengaruhi, Jakarta : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar